Sementara di Swiss, sekitar 10%-15% rumah tangga di sana membeli produk organik secara teratur. Swiss merupakan pembeli produk organik terbesar di dunia dengan menghabiskan 160 Swiss Franc atau sekitar Rp 1,2 juta per orang setiap tahunnya untuk produk-produk organik tertentu. Di Kanada, promosi ternyata dapat berpengaruh pada permintaan pangan organik di pasaran. Pertumbuhan permintaan pangan organik di pasar Kanada diprediksi mencapai 17,41% pada periode 2007-2011. Padahal, permintaan tahun sebelumnya hanya 3%-4%.
Media organik Inggris menulis bahwa di Asia penjualan produk organik meningkat 20% setiap tahunnya. Beijing melaporkan, penjualan sayuran organik di supermarket setempat meningkat tajam menjadi 88% dalam kurun waktu 12 bulan sejak November 2006. Uganda mencatat, 50 petaninya sebagai petani yang telah disertifikasi organik hingga menjadikan negeri itu sebagai produsen pertanian organik terbesar di Afrika. Sementara jumlah perusahaan eksportir produk organik di negeri tersebut meningkat dari lima perusahaan pada tahun 2001 menjadi 22 perusahaan di akhir 2005.
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air, dan tanah, Indonesia memiliki modal dasar yang luar biasa besarnya dalam pengembangan pertanian organik.
Jika dicermati, volume perdagangan produk organik di Indonesia masih rendah meskipun beberapa produk tanaman organik, seperti beras dan sayuran organik, mulai muncul di berbagai pasar swalayan di kota-kota besar. Bahkan, beberapa produk organik, seperti kopi organik, mulai diekspor ke berbagai negara, seperti Belanda, Amerika, dan Jepang. Khusus untuk produk kopi, sebenarnya Indonesia sudah lama dikenal sebagai eksportir kopi gayo organik yang sangat terkenal di dunia. Saat ini terdapat empat belas kelompok tani kopi organik yang beranggotakan sekitar 1.900 petani dan bergabung dalam Persatuan Petani Kopi Gayo Organik (PPKGO).
Komoditas perkebunan, termasuk rempah, sangat diminati negara-negara maju. Menurut sejarah pun, Indonesia dijajah Belanda dan Portugis karena kaya akan rempah dan produk perkebunan lainnya. Oleh karena itu, apabila 10% saja komoditas perkebunan ini dikelola secara organik untuk memenuhi permintaan pasar dunia, tentu akan memberikan sumbangan devisa yang cukup besar karena premium yang diperoleh dari produk organik ini akan berlipat ganda karena dihargai dengan kurs valuta asing. Selain kopi, beberapa produk perkebunan, seperti jambu mete dan vanili organik, juga diminati masyarakat Eropa.
Penggunaan pupuk
Salah satu alasan pentingnya pengembangan pertanian organik adalah persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati.
Hasil penelitian LPT menunjukkan bahwa 79% tanah sawah di Indonesia memiliki bahan organik (BO) yang sangat rendah. Kondisi ini bermakna bahwa sawah di Indonesia sudah sangat miskin, bahkan bisa dikatakan sakit, sehingga tidak hanya membutuhkan makanan (pupuk kimia), namun juga memerlukan penyembuhan. Cara penyembuhan adalah dengan menambahkan BO yang telah diolah menjadi pupuk organik sehingga tanah dapat menjadi lebih sehat dengan kandungan BO yang lebih tinggi. Untuk meningkatkan kandungan BO, dibutuhkan tambahan bahan-bahan organik (pupuk organik) berkisar 5-10 ton/ha. Meskipun demikian, peningkatan BO pada setiap hektare tanah sawah dapat dilakukan secara bertahap dengan memberikan asupan pupuk organik pada kisaran 3-5 ton.
Sayangnya, kebutuhan pupuk organik yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lahan pertanian di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah industri pupuk organik yang berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan pupuk organik hanya diproduksi secara parsial dengan skala industri rumah tangga (home industry) sehingga jumlah produksi yang dihasilkan relatif kecil dan tidak kontinu. Sebagai konsekuensi ketidakseimbangan permintaan dan penawaran, harga pupuk organik yang dihasilkan sangat fluktuatif, bergantung pada jenis, cara pembuatan, dan bahan baku yang digunakan.
Sampai saat ini, jumlah industri pupuk organik hanya 44 unit dengan total kapasitas 440.000 metrik ton/tahun dan tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dari jumlah tersebut, 19 unit pabrik pupuk organik granul yang telah berproduksi, 6 unit pabrik baru berproduksi mulai 2008, dan 19 unit pabrik dalam proses evaluasi.
Potensi pasar pupuk organik di Indonesia sangat tinggi, baik untuk tanaman pangan maupun tanaman hortikultura. Dari hasil penelitian Puslittanah tentang status C-organik lahan sawah di Indonesia, terutama di daerah Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, NTB, dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa potensi kebutuhan pupuk organik yang sangat besar.
Untuk tanaman pangan di daerah-daerah tersebut, dengan luas lahan sekitar 5,9 juta hektare, membutuhkan sekitar 3 juta ton, sedangkan untuk tanaman hortikultura dengan luas lahan sekitar 94.000 hektare membutuhkan pupuk organik 190.000 ton. Sementara serapan pupuk organik untuk kedua jenis tanaman tersebut baru mencapai 624.000 ton.
Baru sekitar 10% petani di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan yang menggunakan pupuk organik secara intens. Dengan kondisi Indonesia yang memiliki potensi lahan pertanian yang sangat luas sekitar 107 juta hektare dan potensi bahan baku untuk pupuk organik dalam jumlah yang sangat besar, antara lain bersumber dari limbah pertanian, limbah industri, limbah peternakan, sampah kota, dan rumah tangga, sangat disayangkan ketika produk-produk pertanian organiknya lebih banyak jalan di tempat. Padahal, pasar di luar sana sudah menanti.***
Sumber :
Falik Rusdayanto, Direktur Eksekutif Golden Institute, alumnus Chulalongkorn University Thailand.
http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=60687