Jumat, 28 Agustus 2009

POTENSI PASAR PRODUK PERTANIAN ORGANIK

Pola makan sehat telah menjadi tren masyarakat dunia. Sekjen Masyarakat Pertanian Organik Indonesia (Maporina) Ririen Prihandarini menjejer data penduduk dunia yang mulai menaruh perhatian pada produk-produk pangan organik. Masyarakat Cheska menghabiskan 15,9 juta dolar AS untuk membeli produk organik.

Sementara di Swiss, sekitar 10%-15% rumah tangga di sana membeli produk organik secara teratur. Swiss merupakan pembeli produk organik terbesar di dunia dengan menghabiskan 160 Swiss Franc atau sekitar Rp 1,2 juta per orang setiap tahunnya untuk produk-produk organik tertentu. Di Kanada, promosi ternyata dapat berpengaruh pada permintaan pangan organik di pasaran. Pertumbuhan permintaan pangan organik di pasar Kanada diprediksi mencapai 17,41% pada periode 2007-2011. Padahal, permintaan tahun sebelumnya hanya 3%-4%.

Media organik Inggris menulis bahwa di Asia penjualan produk organik meningkat 20% setiap tahunnya. Beijing melaporkan, penjualan sayuran organik di supermarket setempat meningkat tajam menjadi 88% dalam kurun waktu 12 bulan sejak November 2006. Uganda mencatat, 50 petaninya sebagai petani yang telah disertifikasi organik hingga menjadikan negeri itu sebagai produsen pertanian organik terbesar di Afrika. Sementara jumlah perusahaan eksportir produk organik di negeri tersebut meningkat dari lima perusahaan pada tahun 2001 menjadi 22 perusahaan di akhir 2005.

Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati tropika yang unik, kelimpahan sinar matahari, air, dan tanah, Indonesia memiliki modal dasar yang luar biasa besarnya dalam pengembangan pertanian organik.

Jika dicermati, volume perdagangan produk organik di Indonesia masih rendah meskipun beberapa produk tanaman organik, seperti beras dan sayuran organik, mulai muncul di berbagai pasar swalayan di kota-kota besar. Bahkan, beberapa produk organik, seperti kopi organik, mulai diekspor ke berbagai negara, seperti Belanda, Amerika, dan Jepang. Khusus untuk produk kopi, sebenarnya Indonesia sudah lama dikenal sebagai eksportir kopi gayo organik yang sangat terkenal di dunia. Saat ini terdapat empat belas kelompok tani kopi organik yang beranggotakan sekitar 1.900 petani dan bergabung dalam Persatuan Petani Kopi Gayo Organik (PPKGO).

Komoditas perkebunan, termasuk rempah, sangat diminati negara-negara maju. Menurut sejarah pun, Indonesia dijajah Belanda dan Portugis karena kaya akan rempah dan produk perkebunan lainnya. Oleh karena itu, apabila 10% saja komoditas perkebunan ini dikelola secara organik untuk memenuhi permintaan pasar dunia, tentu akan memberikan sumbangan devisa yang cukup besar karena premium yang diperoleh dari produk organik ini akan berlipat ganda karena dihargai dengan kurs valuta asing. Selain kopi, beberapa produk perkebunan, seperti jambu mete dan vanili organik, juga diminati masyarakat Eropa.

Penggunaan pupuk

Salah satu alasan pentingnya pengembangan pertanian organik adalah persoalan kerusakan lahan pertanian yang semakin parah. Penggunaan pupuk kimia yang terus-menerus menjadi penyebab menurunnya kesuburan lahan bila tidak diimbangi dengan penggunaan pupuk organik dan pupuk hayati.

Hasil penelitian LPT menunjukkan bahwa 79% tanah sawah di Indonesia memiliki bahan organik (BO) yang sangat rendah. Kondisi ini bermakna bahwa sawah di Indonesia sudah sangat miskin, bahkan bisa dikatakan sakit, sehingga tidak hanya membutuhkan makanan (pupuk kimia), namun juga memerlukan penyembuhan. Cara penyembuhan adalah dengan menambahkan BO yang telah diolah menjadi pupuk organik sehingga tanah dapat menjadi lebih sehat dengan kandungan BO yang lebih tinggi. Untuk meningkatkan kandungan BO, dibutuhkan tambahan bahan-bahan organik (pupuk organik) berkisar 5-10 ton/ha. Meskipun demikian, peningkatan BO pada setiap hektare tanah sawah dapat dilakukan secara bertahap dengan memberikan asupan pupuk organik pada kisaran 3-5 ton.

Sayangnya, kebutuhan pupuk organik yang sangat besar untuk memperbaiki kerusakan lahan pertanian di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah industri pupuk organik yang berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan pupuk organik hanya diproduksi secara parsial dengan skala industri rumah tangga (home industry) sehingga jumlah produksi yang dihasilkan relatif kecil dan tidak kontinu. Sebagai konsekuensi ketidakseimbangan permintaan dan penawaran, harga pupuk organik yang dihasilkan sangat fluktuatif, bergantung pada jenis, cara pembuatan, dan bahan baku yang digunakan.

Sampai saat ini, jumlah industri pupuk organik hanya 44 unit dengan total kapasitas 440.000 metrik ton/tahun dan tersebar di berbagai daerah di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dari jumlah tersebut, 19 unit pabrik pupuk organik granul yang telah berproduksi, 6 unit pabrik baru berproduksi mulai 2008, dan 19 unit pabrik dalam proses evaluasi.

Potensi pasar pupuk organik di Indonesia sangat tinggi, baik untuk tanaman pangan maupun tanaman hortikultura. Dari hasil penelitian Puslittanah tentang status C-organik lahan sawah di Indonesia, terutama di daerah Sumatra Barat, Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, NTB, dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa potensi kebutuhan pupuk organik yang sangat besar.

Untuk tanaman pangan di daerah-daerah tersebut, dengan luas lahan sekitar 5,9 juta hektare, membutuhkan sekitar 3 juta ton, sedangkan untuk tanaman hortikultura dengan luas lahan sekitar 94.000 hektare membutuhkan pupuk organik 190.000 ton. Sementara serapan pupuk organik untuk kedua jenis tanaman tersebut baru mencapai 624.000 ton.

Baru sekitar 10% petani di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat, dan Sumatra Selatan yang menggunakan pupuk organik secara intens. Dengan kondisi Indonesia yang memiliki potensi lahan pertanian yang sangat luas sekitar 107 juta hektare dan potensi bahan baku untuk pupuk organik dalam jumlah yang sangat besar, antara lain bersumber dari limbah pertanian, limbah industri, limbah peternakan, sampah kota, dan rumah tangga, sangat disayangkan ketika produk-produk pertanian organiknya lebih banyak jalan di tempat. Padahal, pasar di luar sana sudah menanti.***

Sumber :

Falik Rusdayanto, Direktur Eksekutif Golden Institute, alumnus Chulalongkorn University Thailand.

http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=60687

Memahami Pertanian yang Berkelanjutan


Memahami Pertanian yang Berkelanjutan

Dewasa ini, istilah ‘Pertanian Berkelanjutan’ semakin sering digunakan. Sebagian orang mungkin pusing dengan kata tersebut. Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara ringkas dan padat perihal pengertian istilah ‘Pertanian Berkelanjutan’ (Sustainable Agriculture).

Penjelasan berikut ini disarikan dari dua buku: (1) karangan Coen Reijntjes, Bertus Haverkort, dan Ann Waters-Bayer, Farming for the Future: An Introduction to Low-External-Input and Sustainable Agriculture, Netherland: ILEIA, 1992; dan (2) buku karangan Jules N Pretty, Regenerating Agriculture: Policies and Practice for Sustainability and Self-Reliance, London: Earthscan, 1996.

Kata ‘berkelanjutan’ (sustainable), sebagaimana dalam kamus, mengacu pada makna “mengusahakan suatu upaya dapat berlangsung terus-menerus, kemampuan menyelesaikan upaya dan menjaga upaya itu jangan sampai gagal”. Dalam dunia pertanian, ‘berkelanjutan’ secara mendasar berarti upaya memantapkan pertanian tetap menghasilkan (produktif) sembari tetap memelihara sumber daya dasarnya.

Sebagai contoh, Komite Penasehat Teknis Grup Konsultatif Riset Agraria Internasional (TAC/CGIAR) 1988) menyatakan, “Pertanian berkelanjutan adalah manajemen sumber-sumber daya secara berhasil bagi agraria untuk mencukupi perubahan-perubahan kebutuhan manusia sembari tetap merawat dan meningkatkan kualitas lingkungan dan perbaikan sumber-sumber daya alam.”

Dengan demikian, pertanian berkelanjutan merupakan suatu pilihan lain atau “tandingan” bagi pertanian modern. Akan tetapi, sebagai tandingan bagi pertanian modern, selain kata berkelanjutan, ada juga yang menggunakan istilah:

  1. pertanian alternatif,
  2. regeneratif,
  3. input eksternal rendah,
  4. bekelanjutan input rendah,
  5. bekelanjutan input seimbang,
  6. conservasi-sumber daya,
  7. biologis,
  8. alamiah,
  9. pertanian ekologis (ramah lingkungan),
  10. agro-ekologis,
  11. pertanian organis,
  12. biodinamis, dan lain sebagainya.

Baik pertanian berkelanjutan dan berbagai istilah lainnya, umumnya mengandung suatu makna penolakan terhadap pertanian modern. Penolakan itu karena pertanian modern diartikan sebagai cara bertani yang menghabiskan sumber daya, pertanian industri, dan pertanian input eksternal tinggi atau intensif.

Sebagai gambaran sederhana, pertanian modern memakai masukan (input) luar seperti pupuk pabrik, bibit pabrik, pestisida dan herbisida kimia pabrik, yang umumnya merusak kelestarian tanah dan alam. Sebaliknya, suatu pertanian berkelanjutan lebih mengandalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia seperti bibit lokal, sumber air, matahari, dan teknologi yang ramah lingkungan; dan juga sangat mengutamakan pemanfaatan pupuk kandang (kompos) dan pengendali hama alami atau pestisida dari bahan-bahan alami.

Oleh karena itu, inti pemahaman pertanian berkelanjutan adalah sangat mengutamakan pemanfaatan sumber daya lokal beserta pengetahuan lokal.

Untuk lebih memudahkan pemahaman, Nicanor Perlas mengembangkan konsep pertanian berkelanjutan ILEIA (buku Farming the for Future); dan Perlas berhasil merumuskan Tujuh Dimensi Pertanian Berkelanjutan (baca: Nicanor Perlas, “The Seven Dimensions of Sustainable Agriculture“, makalah pada Konferensi Internasional II Forum Pembangunan Asia yang diadakan ANGOC di Filipina, tanggal 22-26 Februari 1993).

Dari berbagai bahan tersebut, penulis mencoba menyadur tujuh dimensi pertanian berkelanjutan tersebut ke dalam Bahasa Indonesia yang mudah dipahami, sebagaimana berikut ini.

Pertanian berkelanjutan harus menjadi pertanian:

  1. Ramah Lingkungan;
  2. Menggairahkan kehidupan ekonomi;
  3. Adil dan layak secara sosial;
  4. Peka pada nilai budaya;
  5. Mampu mengembangkan teknologi tepat guna;
  6. Mampu menjadi pengetahuan yang menyeluruh;
  7. Menjadi obor bagi kemanusiaan.

Namun, semua itu tidak berarti tanpa menyadari bahwa pilar terpenting dari pertanian berkelanjutan, selain lingkungan alam, adalah manusia. Pertanian berkelanjutan akan terwujud bila manusia bersungguh-sungguh memahami bahwa cita-cita pertanian berkelanjutan hanya dapat terwujud apabila dilandasi suatu pembaruan atau reformasi atas sumber-sumber daya alam dan agraria di mana rakyat secara adil dan setara dapat merasakan dan memanfaatkannya.

~ oleh petanidesa

Pilihan untuk Kemerdekaan dan Kemandirian Petani

Pilihan untuk Kemerdekaan dan Kemandirian Petani

Air susu sama saja air tuba! Itulah kesimpulan yang didapat jika mengetahui hasil penelitian WHO (Organisasi Kesehatan Sedunia) tentang metabolisme, yang ternyata menunjukkan bahwa air susu ibu (ASI) di Pulau Jawa ada yang telah tercemar pestisida. Padahal ASI dikampanyekan sebagai susu terbaik bagi bayi. Secara tidak langsung, proses ancaman kehidupan berlangsung lewat kasih sayang para ibu. Lalu, apa yang dirasakan seorang suami yang melihat istrinya sedang menyusui anaknya dengan air susu yang tercemar? Itulah yang diungkapkan oleh Tanto D. Hobo, seorang petani organik dalam lokakarya petani peringatan Hari Pangan Sedunia di Ciwidey, Bandung yang berlangsung pada tanggal 16-18 Oktober 1999 lalu.

Pestisida telah lama diketahui menyebabkan iritasi mata dan kulit, gangguan pernapasan, penurunan daya ingat, dan pada jangka panjang menyebabkan kanker. Jika ibu hamil mengkonsumsi makanan dan minuman yang mengandung residu pestisida, maka janin yang dikandungnya mempunyai risiko dilahirkan dalam keadaan cacat.

Penggunaan pestisida juga menyebabkan terjadinya peledakan hama —suatu keadaan yang kontradiktif (bertentangan) dengan tujuan pembuatan pestisida— karena pestisida dalam dosis berlebihan menyebabkan hama resisten (kebal) dan megakibatkan kematian musuh alami hama yang bersangkutan.

Akan tetapi, mitos obat mujarab pemberantas hama tetap melekat di sebagian petani. Mereka tidak paham dengan bahaya pestisida. Informasi yang sampai kepada mereka adalah “jika ada hama, “pakailah pestisida merk A”.

Para petani juga dibanjiri impian tentang produksi yang melimpah-ruah jika mereka menggunakan pupuk kimia. Para penyuluh pertanian adalah “antek-antek” pedagang yang mempromosikan “keajaiban” teknologi modern ini. Penyuluh pertanian tidak pernah menyampaikan informasi secara utuh bahwa pupuk kimia sebenarnya tidak dapat memperbaiki sifat-sifat fisika tanah, sehingga tanah menghadapi bahaya erosi.

Penggunaan pupuk buatan secara terus-menerus akan mempercepat habisnya zat-zat organik, merusak keseimbangan zat-zat makanan di dalam tanah, sehingga menimbulkan berbagai penyakit tanaman. Akibatnya, kesuburan tanah di lahan-lahan yang menggunakan pupuk urea dari tahun ke tahun menurun.

~ oleh petanidesa

Peluang Indonesia dalam Pertanian Organik


Peluang Indonesia dalam Pertanian Organik


Seiring dengan maraknya gerakan konsumen hijau, kesadaran konsumen untuk membeli produk yang ramah lingkungan semakin meningkat, termasuk di dalamnya produk-produk pertanian yang sehat dan bebas bahan kimia.

Munculnya berbagai persyaratan perdagangan internasional seperti ISO-9000, ISO-14000, dan ecolabeling. Berbagai persyaratan ini menandakan bahwa masyarakat internasional tidak lagi menghendaki produk pertanian yang mengandung bahan-bahan kimia dan merusak kesehatan, lingkungan, dan generasi berikutnya.

Pertanian organik menjadi alternatif bagi bangsa Indonesia karena jika pola pertanian modern yang padat bahan kimia tetap dilakukan seperti sekarang ini, dikhawatirkan Indonesia tidak dapat lagi mengekspor produk-produk pertaniannya.

Selain itu, bertani secara organis merupakan terobosan bagi para petani di tengah membubung tingginya harga pupuk dan pestisida kimia.

Sebenarnya, ada dua cara untuk mengatasi tingginya harga pupuk dan pestisida buatan pabrik. Pertama, menyediakan modal yang lebih besar. Ini dapat dilakukan, misalnya, dengan mendapatkan pinjaman Kredit Usaha Tani (KUT). Tentu saja petani terkena beban hutang. Kedua, petani membuat pupuk sendiri dengan bahan-bahan alami yang telah disediakan oleh alam dan melakukan pengendalian hama. Cara kedua relatif jauh lebih murah dan menyehatkan.

Petani organik menjadi petani yang mandiri dan merdeka, karena bahan-bahan bertani diperoleh dari alam sekitar. Petani tidak lagi menjadi tergantung kepada para produsen benih, pupuk, maupun pestisida. Selain itu, pertanian organik memberi ruang yang luas bagi petani untuk mengembangkan kreativitas bertaninya, seperti memanfaatkan bahan-bahan tidak berguna untuk kegiatan bertaninya. Sampah digunakan menjadi pupuk. Kaleng bekas dimanfaatkan untuk mengusir burung. Pertanian organik menjadi bagian dari upaya pemberdayaan petani, karena mengurangi ketergantungan petani terhadap pihak-pihak atas desa yang selama ini mengeksploitasi petani.

Dalam konteks pertanian yang berkelanjutan, model pertanian organik merupakan suatu strategi penguatan pemahaman petani akan harkat hidupnya, dan masa depan pertanian Indonesia. Dalam pemahaman inilah, hak petani atas tanah, perlu ditegakkan. Oleh karena itu, Reforma Agraria Indonesia tetap menjadi agenda pokok perjuangan petani Indonesia.

~ oleh petanidesa

Labelisasi Produk Organik


Labelisasi Produk Organik

Gerakan pertanian organik sudah dimulai di mancanegara semenjak tahun 1970-an. Akibat lebih banyak dampak buruk revolusi hijau, maka masyarakat lebih menginginkan produk pertanian yang baik bagi kesehatan manusia dan sekaligus ramah lingkungan. Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sangat memperhatikan hal ini. Dengan demikian, secara pelahan pertanian organik berkembang dan produknya harus mempunyai standar yang lebih tinggi. Pertanian organik juga berkembang di Asia, terutama di Jepang, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

Sekarang ini, negara Eropa dan Amerika sangat menyukai produk organik. Sekitar 3 ribu ton/tahun sayuran organik beku dan olahan buah-buahan organik berpeluang menembus pasar. Dalam perkembangan ini, para pedagang sering memasang label organik untuk menaikkan harga dagangannya. Oleh karena itu, misalnya, produk organik di Jerman harus diawasi dan dipasangi label ekolabeling (label ramah lingkungan).

Demikian juga halnya di Jepang. Karena sering ditipu pedagang dan pengusaha agribisnis, maka konsumen dan petani Jepang bergabung dalam JOAA (Japan Organic Agriculture Association). Mereka tidak mau diatur-atur pemerintah. Konsumen juga tidak mendapat jaminan tentang kualitas dan bagaimana produk itu ditanam.

Oleh karena itu, konsumen Jepang memperkenalkan konsep tei kei. Konsep ini artinya konsumen membeli langsung sayuran atau produk pertanian lainnya secara langsung dari petani. Dengan demikian, selain dapat memastikan kualitas produk. Konsumen dan produsen dapat berbincang-bincang dan mempererat keakraban.

Petani yang menerapkan konsep tei kei, menentukan harga produknya berdasarkan biaya produksi dan biaya hidup yang dia butuhkan sebagai petani. Harga produk menjadi mahal dibandingkan harga pasar. Meskipun demikian, konsumen tetap membeli karena puas dengan kualitas tanaman organik. Sehingga, petani tetap bergairah untuk menekuni pertanian organik.

~ oleh petanidesa

Kamis, 27 Agustus 2009

Merakit Produk Di 2 Negara

Ketat dan konsisten Pemerintah Malaysia menerapkan peraturan karantinanya melalui “permit Import” atas semua produk pupuk, mikroba dan kompos “memaksa” PT Cipta Visi Sinar Kencana- sebagai Perusahaan Principal peralatan dan bahan pengelolaan sampah BioPhosko, memproduksi dan memperbanyak inokulan bagi pembuatan aktivator kompos di Negara jiran tersebut. Dengan menggandeng Melaka Biotech dan University of Malaya, inokulan sebagai bagian dari activator kompos Green Phoskko akan segera di produksi di negara dimana selama ini menjadi tujuan export aneka alat dan bahan Biophoskko Composter tersebut. Dengan demikian, untuk satu produk akan dibuat di dua negara. Media aktivator hingga kemasan diproduksi di Bandung sementara breeding inokulan bakteri, jamur, ragi dan mikroba lainnya dibiakan di Malaysia.

Hal itu terungkap ketika pertemuan perundingan terakhir antara importer komposter di Malaysia, H Saiful Bahri A Hadi, selaku Managing Director Konsortium Melayu Selayang Bhd ( KMsB) dengan Ketua Tim Advisor University Of Malaya (UM) , Prof Dr Mohamad Rom Tamjis serta Ir Sonson Garsoni -selaku Direktur perusahaan Prinsipal aktivator kompos dan komposter di Bandung, 21 Februari 2007 lalu- sebagaimana juga diberitakan Pikiran Rakyat, Sabtu, 24 Februari 2007 dan Koran Seputar Indonesia (Sindo) di hari yang sama.

“Kami akan mempublikasi dan mengedukasi pembuatan baja organic ( kompos, red) di sekolah-sekolah dan college kerena akan lebih mudah mengajarkan para student mengasingkan aneka jenis sampah organik dan an-organik. Kami juga berpendapat bahwa, hingga saat ini pihak Kerajaan ( pemerintah, red) belumlah memiliki kebijakan tentang sampah. Itulah yang menyebabkan kondisi persampahan telah mencemari sumur penduduk - yang berlokasi berdekatan dengan Tempat Pelupusan Sampah ( TPA, red) di hampir semua negera bagian di Malaysia” demikian ujar Dr Rom Tamjis, yang bertindak selaku Head Of Advisory Unit perundingan University of Malaya. Selanjutnya, Rom Tamjis menuturkan jika teknologi komposter bukanlah berlawanan dengan teknologi modern lainnya seperti “waste to energy” : “Kami berpendapat bahwa komposter bukanlah teknologi yang “opposite” atas pengelolaan sampah dengan teknologi incinerator, maupun sampah sebagai bahan baku energy pembangkitan listrik. Komposter BioPhoskko, disamping berguna dalam mengatasi masalah sampah di sumbernya, juga sekaligus memberikan pendapatan atau income bagi unit kelompok masyarakat yang mengusahakannya” demikian dikatakan Prof Rom Tamjis- yang mendapat berpredikat Phd dari Newcastle Univercity dalam bidang Electrical Machine dan berpengalaman dalam proyek Expertise Services For Technology In Waste Management, di Brussel. Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Saiful Abdul Hadi, Managing Director Kmsb -selaku importer tunggal peralatan dan bahan pengolahan sampah di Malaysia- menyebutkan bahwa, dengan melakukan produksi atas biakan murni mikroba dari Bandung, akan diperlukan investasi peralatan bagi pembiakan ibu inokulan mikroba ( bakteri, yeast, jamur), pemeliharaan maupun injection (penyuntikan) kedalam media activator -yang tetap diimpor dari Indonesia. Total investasi peralatan dan pembelian sebagaian bahan media aktivator diperkirakan sekira RM 1 juta ( Satu Juta Ringgit Malaysia).

Langkah melakukan produksi satu artikel produk di dua negara, seperti layaknya perusahaan global diatas, harus dilakukan, jika mengingat permintaan akan komposter di Malaysia cukup potensial, sehingga segala cara ditempuh agar pasar Malaysia dapat dikuasai. Setelah uapay ekspor langsung telah melewati masa penguruan “Import Permit” - yang berliku dan menyulitkan selama Oktober 2006 sampai Februari 2007. Sonson Garsoni, Direktur PT CVSK berharap kerjasama produksi aktivator kompos di Melaka Biotech dengan dukungan expertise University of Malaya ini akan segera membuahkan hasil.
++++++++++++++
Ya... setelah kesulitan ada kemudahan...............walaupun harus bersiap lagi guna menghadapi kesulitan baru lagi................semoga semua memberi hikmah bahwa perjalanan bisnis memang ibarat sebuah kurva. Terkadang ada bagian menaik, dan namun jangan lupa juga bahwa ada bagian kurva menurun........... Seperti digambarkan dalam surat Alam Nasyrah.......


. فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرً

Oleh itu, maka (tetapkanlah kepercayaanmu) bahawa sesungguhnya tiap-tiap kesukaran di sertai kemudahan.

إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

(Sekali lagi ditegaskan) bahwa sesungguhnya tiap-tiap kesukaran, disertai kemudahan.


فَإِذَا فَرَغْتَ فَانصَبْ

Kemudian apabila engkau telah selesai (daripada sesuatu amal salih), maka bersungguh-sungguhlah engkau berusaha (mengerjakan amal salih yang lain).

وَإِلَى رَبِّكَ فَارْغَبْ

Dan kepada Tuhanmu sahaja hendaklah engkau memohon (apa yang engkau gemar dan ingini).

+++++++++++++

Alias masih harus berjuang tanpa henti karena, mungkin disana lah ada ladang beribadah, amiin .Tim Posko Hijau++++++++++)

Penghargaan Presiden RI










Direktur PT Cipta Visi Sinar Kencana (CVSK) menerima Penghargaan Dharma Karya Kencana (DKK) dari Presiden RI di Harganas Ambon Atas Jasanya Melakukan Pembinaan Pada Usaha Kecil Mikro (UKMM)

Senin, 24 Agustus 2009

Teknologi Pengolahan Sampah

Mesin Pengolah Sampah

[Tipe Rotary Klin Elektrik] RKE 1000 L

Mesin Pengolah Sampah  [Tipe Rotary Klin Elektrik] RKE 1000 L
Alat mesin ini berdimensi
( Tinggi= 190 cm, Diameter Reaktor= 155 cm dan Panjang: 290 cm.)

Komposter Manual MC-100 L

Komposter Manual MC-100 L
Dimensi PLT (Panjang x Lebar x Tinggi: 55x55x 80 cm)
berat 30 kg, terbuat dari bahan logam dan plastik
merupakan solusi tepat untuk penanganan
sampah rumah tangga

Komposter BioPhosko® - Compost Bin

Komposter BioPhosko® - Compost Bin
Komposter adalah media penyimpan bahan pembuatan kompos
yang berasal dari sampah organik ( seperti sisa sayuran, makanan,
daging dan ikan). Bahan sampah organik ini mengandung nutrisi
( NPK, MgSCa dan Mikro Elemen) yang baik bagi pertumbuhan
tanaman dan perbaikan kesuburan tanah.

BioPhosko®

[Rotary Klin RKM 1000 L]

BioPhosko® - [Rotary Klin RKM 1000 L]
Biophosko® (Tipe Rotary Kiln)- berdimensi:
( Tinggi = 190 cm, Diameter= 155 cm dan Panjang= 290 cm)
terbuat dari bahan fiber resin dan peralatan aerasi lainnya.
Alat Mesin Rotary Klin Type RKM 1000 L ini merupakan
solusi tepatuntuk penanganan, pengolahan dan penghancuran
sampah ( organik).Sampah suatu komunitas -yang sebagian
besar berupasampah organik seperti sumber rumah
tangga ( household),kedai makan, restaurant, hotel, pabrik
serta sampah domestik( domestic waste) dari suatu komplek
perumahan ( Real Estate) atau housing di perkotaan
atau perbandaran sangat tepat dihadirkan.
Kategori sampah organik atau yang bisa terdegradasi
( degradable material ) meliputi: sisa makanan, sayuran,
kertas, sisa ikan dan duri ikan, kulit buah-buahan,
potongan sayuran, dll. Semua material yang berasal
dari makhluk hidup ( hewan, manusia, tumbuhan)
dikatagorikan sebagai bahan organik . Merubah sampah
organik menjadi sesuatu yang bermanfaat seperti
kompos dan pupuk organik cair (POC) akan berguna
dalam memelihara kesuburan tanah dan sebagai pasokan
nutrisi bagi tanaman di sekitar lingkungan sendiri
( seperti taman di perumahan, hotel, restoran, mall dan
lingkungan RW. Kompos padat dan pupuk cair dapat juga
dijual ke petani, atau konsinyasi ke pedagang tanaman
hias sepanjang jalan di perkotaan, pemilik taman,
kalangan hobies tanaman dan bunga serta
pengusaha perkebunan dan bagi kepentingan
reklamasi lahan eks pertambangan.

Komposter BioPhosko® - Compost Bin
Komposter BioPhosko® - Compost Bin
Komposter adalah media penyimpan bahan kompos yang
berasal dari sampah organik ( seperti sisa sayuran, makanan,
daging dan ikan ) - yang akan menghasilkan kompos dan
pupuk organik cair yang baik bagi pertumbuhan tanaman.
Bahan sampah organik ini mengandung nutrisi
( NPK, MgSCa dan Mikro Elemen) sedikit sekali

Sentralisasi Versus Desentralisasi Pengelolaan Sampah

Sungguh kita semua akan mendapatkan hikmah yang besar dari bencana Longsor TPA Leuwigajah bila saja mampu mengambil khibarNya. Ketika bangsa ini didera berbagai persoalan, kesulitan ekonomi serta berbagai bencana besar lainnya, ada keuntungan tersembunyi (blesing in disguise) dengan terkemukanya masalah manajemen persampahan kota. Keberuntungan akan didapatkan bila, pengelolaan sampah berada pada kewenangan dan tanggungjawab yang tersebar di level Kecamatan, Kelurahan maupun RW berdasar pada sumber penghasil itu sendiri.
Kita perhatikan 2 (dua) info berikut :

Setiap kg sampah memerlukan biaya untuk membuangnya ke TPA. Demikian juga bila sampah didaur ulang menjadi barang baru. Perbedaannya barang hasil daur ulang, misalnya kompos ( berasal dari sampah organik), dapat dijual setidaknya Rp 200/kg. Demikian juga bijih plastik (berasal sampah an-organik) setidaknya bernilai Rp 25.000/kg. Sementara lain sampah yang dibawa ke TPA menghasilkan air lindi, timbunan berbau dan beresiko mencemari udara dan air tanah. Itu bedanya, namun sama-sama setiap kg sampah akan membutuhkan biaya - yang oleh karenanya setiap penghasil sampah mesti membayar retribusi kebersihan dan pengelolaan.

Namun demikian, pilihan kita dengan mendaur ulang di dekat lokasi sampah dihasilkan bukan karena kompos asal sampah organik bisa dijual- yang bahkan dalam keadaan petani sudah urea minded tidaklah gampang memasarkan kompos tersebut. Motivasi terbesar mendaur ulang di dekat lokasi penghasil sampah haruslah karena sampah memang memerlukan pengelolaan secara logis. Membawa sampah ke TPA, berkonsekwensi pada ongkos angkut yang makin mahal padahal tidak ada perolehan ekonomi dari pemindahan lokasi tersebut. Dengan mendaur ulang di lokasi penghasil ( skala RW, Kelurahan, Kecamatan) juga tetap sama-sama memerlukan biaya. Sebagai misal, menurut analisa biaya pembuatan kompos bagi 5 m3 ~ 1 ton sampah organik dengan menggunakan Bio Reaktor Mini (BRM) atau komposter Green Phoskko, diperlukan biaya :

Kebutuhan Bahan berupa Mikroba activator 1 kg= 19.500,- dan Penggembur (balking agent) 1 % x 1 ton= 10 kg x Rp 2500/kg = Rp 25.000,- atau total biaya 44.500,-/ton sampah organik.

Dengan Rendemen 35 %, akan dihasilkan kompos 350 kg kompos x Rp200/ kg= 70.000,- atau laba senilai Rp25.500,-
( Sumber :
http://www.kencanaonline.com)

Berita 2 :” Biaya Pengelolaan Sampah Rp 21.600/ton Tidak Memadai, Seharusnya Rp 105.000/ton “

Bandung, Kompas - Biaya pengelolaan sampah di Jawa Barat jauh dari memadai. Faktor-faktor pengelolaan sampah yang biayanya tidak mencukupi, antara lain, adalah pengangkutan sampah, retribusi, dan operasionalisasi tempat pembuangan akhir.
Hal itu dikatakan Ketua Harian Provincial Project Support Unit Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jawa Barat Setiawan Wangsaatmadja, Jumat (11/3) di Bandung.

Biaya untuk mengangkut sampah, misalnya, saat ini dianggarkan Rp 17.600 per ton, sedangkan yang ideal sebesar Rp 70.000 per ton.
Hal ini diperparah dengan moda transportasi berupa truk sampah yang tidak layak, misalnya bentuk bak terbuka sehingga banyak sampah tercecer. Seharusnya, lanjut Setiawan, bak truk sampah berbentuk kapsul tertutup.
Selain itu, biaya pengelolaan tempat pembuangan akhir (TPA) sampah sebesar Rp 4.000 per ton juga jauh dari angka yang mencukupi, yaitu Rp 35.000 per ton.

(Kompas, 12 Maret 2005)

Pembaca yang budiman,

Dari kedua pilihan pengelolaan sampah kota diatas, dengan sama-sama mengabaikan biaya investasi – yang tentunya investasi TPA memerlukan investasi lebih besar dibanding pengolahan kompos - memperlihatkan bahwa pengelolaan sampah kota menjadi kompos menghabiskan biaya Rp 44.500,-/ton dengan keuntungan Rp 25.500,- atau total penerimaan Rp 70.000,- sementara pilihan biaya pengelolaan ke TPA Rp 105.000,-/ton dengan total penerimaan Rp0,-.

Dari kalkulasi sederhana diatas sejatinya menjadi panduan dalam berfikir untuk memilih keputusan manakah yang lebih bijaksana, logis dan beradab dalam pengelolaan sampah. Apakah pengelolaan oleh suatu perusahaan "corporate" secara tersentralisasi suatu kota? atau, pengelolaan sampah secara
desentralisasi melalui pendaur-ulangan oleh UKM, LSM, Usaha Mikro, komunitas usaha kecil lainnya pada tingkat lokal penghasil sumber sampah ? (***)

Kebersihan Kota dan Strategi Ekonomi Bangsa
















Masalah sampah akan ada di setiap masyarakat- terutama wilayah padat seperti Singapura- yang aku ambil gambarnya dari daerah Clark Quay dan Orchad Road. Masalahnya, ada kesadaran tinggi dan kepatuhan pada hukum jika masyarakat Singapura membuang sampahnya ke 3 jenis tempat sampah berbeda.
Berbeda dengan masyarakat Indonesia, yang menganggap sampah bukan masalah. Kenapa harus repot-repot.......................................barangkali begitu fikirnya.
Sebenarnya kebersihan bisa mendatangkan devisa, setidaknya para turis mancanegara akan lebih lama tinggal dan berbelanja jika saja wilayah kita enak dan bersih. Jadi kebersihan bagian dari masalah ekonomi juga.
Berikut wawancara PR dengan ahli pengelolaan sampah yang diterbitkan PR, 7 desember 2004.
Mengubah Perilaku Masyarakat terhadap Sampah
MENGATASI masalah sampah bukan hanya sekadar membersihkan lingkungan yang kotor dan tercemar akibat sampah yang berserakan. Mengatasi sampah juga bukan cuma membangun fasilitas TPS (tempat pembungan sementara) dan TPA (tempat pembuangan akhir).
Berulangkali pemerintah daerah bekerja keras meningkatkan armada dan pembangunan tempat pembuangan sampah, namun hasilnya akan sia-sia jika perilaku masyarakat tak berubah. Hal itu ditekankan Ketua Lembaga Pengabdian kepada Masyarakat (LPM) Unpad, Prof. Dr. H. Kusnaka Adimihardja, M.A., dalam wawancara dengan Pikiran Rakyat yang selengkapnya kami sajikan di bawah ini.
**
Pikiran Rakyat: Sebagai warga Kota Bandung, apa yang bapak lihat dari masalah sampah dan penanganannya selama ini ?
Kusnaka: Sebagai warga kota, jelas yang tampak di depan mata Kota Bandung tidak sebersih 10 atau duapuluh tahun lalu. Ini masalah serius, tetapi harus kita akui sampah hanya merupakan masalah sub sistem. Masalah bertambahnya penduduk Kota Bandung, seperti juga pertamabahan penduduk Indonesia yang sangat pesat tentu berdampak sangat luas. Sekira 50 persen penduduk Indonesia menempati kota-kota besar, sehingga kebutuhan listrik, jalan, air bersih melonjak tajam, diikuti timbulnya masalah sampah..
Pikiran Rakyat: Apa kesadaran penduduk Bandung terhadap masalah sampah bisa dimasukkan kategori positif ?
Kusnaka: Ini yang harus kita bangun secara perlahan-lahan. Karena membicarakan sampah, saya lebih suka lebih dulu membahas institution building nya. Kita selama ini lebih suka menjalankan proses penanganan sampah yang mahal. Mulai dari membangun TPS di tempat-tempat tertentu, kemudian sampah diangkut menggunakan kendaraan sampah ke TPA.
Proses perjalanan sampah dari rumah penduduk hingga TPA menempuh rantai yang cukup panjang. Selain menghabiskan waktu yang cukup lama untuk sampai di TPA, sampah juga menggunakan kendaraan pengangkut yang menghabiskan bensin. Belum lagi sekian banyak kebersihan yang harus dipekerjakan oleh Dinas Kebersihan.
Sampah yang tertumpuk di TPS pasti menimbulkan polusi udara bagi lingkungan setempat, demikian pula sampah yang dibuang pada TPA. Jadi bisa dibayangkan, biaya mahal yang dikeluarkan ternyata tak mampu menuntaskan masalah sampah.
Pikiran Rakyat: Di mana posisi masyarakat dalam masalah ini ?
Kusnaka: Selama ini masyarakat menggemari proses instan. Sampah dibungkus plastik, kemudian dibuang seenaknya di saluran air atau di kali dan sungai tanpa memperhitungkan dampaknya. Apakah kualitas air menurun, atau banjir bisa melanda jika saluran air tersumbat tak masuk dalam hitungan instan masyarakat kita. Repotnya, sampah plastik tak bisa terurai seperti halnya sampah organik.
Lebih parah lagi, pengelolaan sampah yang kita lakukan bergaya feodalistik. Jadi sampah yang tampak di permukaan, atau di sekitar rumah-rumah pejabat pemerintah dan jalan utama dibersihkan. Ke mana sampah itu dibuang tidak menjadi soal penting. Di daerah pinggiran, sampah belum tentu selalu dibersihkan karena nilai daerah tersebut dianggap tak begitu penting.
Pikiran Rakyat: Dalam hal ini apa yang bisa dilakukan menyadarkan masyarakat kita ? Pada beberapa kasus yang cukup unik, warga yang membuang sampah seenaknya di jalan, begitu pergi ke LN seperti ke Singapura ternyata bisa sangat disiplin membuang sampah pada tempatnya ?
Kusnaka: Masyarakat juga kesal, setiap kali membayar listrik, terhadap mereka dibebankan biaya sampah yang dipukul rata. Jelas ini tidak rasional dan di jalan, di tempat-tempat tertentu dekat lingkungan mereka harapkan bersih ternyata masih dipenuhi sampah.
Di Singapura, segala sesuatu dilakukan secara konstektual, dan kita tahu persis ada aturan yang melindungi kita tanpa pengecualian. Tetapi yang harus saya sampaikan, setiap manusia itu pada dasarnya baik karena punya hati dan pikiran. Jadi problem utamanya adalah pendekatan pemerintah kepada masyarakat. Seluruh masyarakat harus diajak berperan serta.
Kasus Bojong, adalah contoh di mana dialog tidak berjalan, antara pihak pemerintah dan swasta serta masyarakat. Dengan demikian setiap keputusan yang dihasilkan akan menimbulkan kecurigaan masyarakat. Pada akhirnya kecurigaan akan menghasilkan konflik, tetapi saya masih melihatnya dalam pendewasaan masyarakat kita. Masyarakat kita perlu waktu untuk mendewasakan diri, dan kita harus terus melangkah ke arah itu.
Pikiran Rakyat: Apa Bapak optimis sinergi antaran pemerintah dan masyarakat serta pihak ketiga yang dalam hal pihak swasta bisa berjalan mulus ?
Kusnaka: Yang pertama, perilaku masyarakat terhadap sampah harus diubah. Untuk itu, kita perlu menanamkan budaya pengelolaan sampah berbasis masyarakat.
LPM Unpad telah mencoba sebuah sistem penanganan berbasis masyarakat mulai dari tingkat kelurahan yang sangat murah, efektif dan bersih lingkungan. Sistem ini memerlukan lahan seluas 200 meter persegi untuk bangunan pabrik, kemudian 4 pemulung terlatih, serta mesin pengelola sampah.
Pikiran Rakyat: Apakah dalam hal ini pemerintah bisa mengandalkan upaya masyarakat setempat 100 persen ?
Kusnaka: Pemerintah bisa berperan serta menyumbangkan lahan seluas 200 meter persegi pada setiap kelurahan. Sampah yang dilekola pada setiap pabrik tersebut maksimal 1 ton setiap hari, dan dengan teknologi yang dikembangkan LPM, hanya dalam waktu satu minggu sampah organik sudah diolah menjadi kompos yang bisa dijual.
Pikiran Rakyat: Tidak semua orang mengerti perbedaan sampah organik dan jenis sampah lainnya?.
Kusnaka: Penanganan di tingkat kelurahan akan memberikan peluang lebih besar meningkatkan pengetahuan masyarakat pada jenis-jenis sampah.
Setiap rumah dimintah memisahkan sampah organik yang mudah terurai, seperti sisa-sisa makanan, sayuran, dengan sampah plastik dan sampah kaleng pada kantong yang berbeda.
Setiba di pabrik pengolahan sampah organik bisa segera diproses, sementara plastik dan kaleng bisa dijual oleh pemulung yang bertugas di tempat tersebut. Keseluruhan pabrik pengolahan sampah yang direncanakan LPM Unpad ini membutuhkan biaya sekira Rp 200 juta.
Pikiran Rakyat: Dalam banyak hal jika sudah menyangkut biaya, rencana yang bagus seringkali terunda atau bahkan terbengkalai. Dari mana biaya Rp 200 juta bisa didapatkan masyarakat ?

Kusnaka: Masyarakat dan pemerintah bisa menggandeng pihak swasta, atau bisa saya contohkan pihak Pindad yang sanggup memproduksi mesin pengolah sampah. Hasil akhir berupa kompos merupakan produk yang bisa dijual dan menghasilkan uang bagi kelurahan setempat.

Yang lebih penting lagi, seluruh sampah organik yang dikelola di pabrik merupakan sampah kering sehingga tidak menimbulkan bau. Secara otomatis pula, sampah setiap kelurahan tak perlu menumpuk di TPS dan kemudian diangkut ke TPA, sehingga sampah tak perlu keluar dari lingkungan kelurahan setempat.
Prinsipnya, pengelolaan ini berbasis "zero waste" (bersih lingkungan) dan kelurahan mendapat keuntungan, sedangkan petugas menerima honor.

Pikiran Rakyat: Apakah Bapak optimis teknologi pengolahan sampah berbasis masyarakat yang disodorkan LPM akan populer dan bisa diterima semua pihak ?
Kusnaka: Ditinjau dari segi biaya murah dan peran serta masyarakat seharusnya sistem ini bisa diterima. Tetapi saya khawatir birokrat kita lebih suka pengolahan biaya tinggi dan mereka lebih suka projek mahal.
Tetapi ada satu hal penting yang bisa dicapai lewat pengelolaan sampah berbasis masyarakat, yakni mengubah perilaku masyarakat terhadap sampah yang kini memiliki nilai tambah. ( Johnny F Tamaela/PR).***

Analisa Biaya Mengolah Sampah


Analisa Biaya Mengolah Sampah Menjadi Kompos Dengan Komposter Green Phoskko

ANALISA PENDAPATAN DAN BIAYA
INSTALASI PENGOLAHAN SAMPAH KOTA
(IPSK/ hari)

Asumsi yang digunakan :

1. Satu Instalasi Pengolahan Sampah Kota (IPSK) terdiri dari 14 unit BRM dengan kapasitas BRM Type L/unit ( T= 90 cm x D=55 cm) adalah 1,5 m3 ~ 300 kg sampah organik,
2. Produksi sampah organik/ rumah tangga @ 2,6 kg atau sampah dari 100 rumah tangga (satu RT) dapat diolah oleh 1 (satu) unit BRM Type L,
3. Instalasi IPSK ditempatkan berdasar kepentingan mengolah sampah organik dari kelipatan 100 rumah tangga/hari
4 Instalasi dapat dioperasikan langsung oleh usahawan : 1 man- day ( 1 orang mengoperasikan 1(satu) IPSK/ hari)
5. Masa dekomposisi dan pendinginan kompos 14 (empat belas ) hari
6. Sampah Organik Terpilah dikolektor petugas ke lokasi IPSK- sebagaimana berlangsung saat ini atas beban iuran warga ( selanjutnya bisa dengan menggunakan Motor Roda Tiga),
7. Harga Jual kompos @ Rp 200,-/ kg ( di pasaran bisa seharga Rp 1000/kg) dan harga jual an-organik belum dihitung,
8. Penerimaan subsidi Bank Dunia (WJEMP) Rp. 300/kg,

I. Alat Yang Diperlukan :

- Satu Instalsi : 14 Unit Bio Reaktor Mini / BRM Green Phoskko® Type L ( @ kapasitas 1,5 m3 / Unit~ 300 kg / Unit ) senilai Rp. 4.900.000,-
- Wadah Untuk Pencampuran Sampah Organik ( jolang atau Container atau lobang tanah), Cangkul/sekop dan Ember Pencampuran, PM ( Pro-Memory)

II. Bahan:

- 0,25 kg Green Phoskko® Activator ~ Rp 5.000
- 3 kg Penggembur Green Phoskko®~Rp 7.500/ kg
- Sampah Organik 1,5 m3 ~ 200 kg sd 300 kg ~ PM

Maka Biaya /hari/IPSK :

- Green Phoskko® Activator + Penggembur = Rp 12.500
- Penyusutan Alat/ Barang Modal : 0,03 %/hari x Rp 4.900.000/ IPS= Rp 1.633/ hari

Sub- Total Bahan dan Alat Rp 14.133/ hari

Penjualan:

a). 300 kg sampah Organik~ 100 kg Kompos ( Rendemen 35 %) X Rp 200/ kg = Rp 20.000,-
b). Penerimaan subsidi Bank Dunia @Rp 300/kg x 100 kg = Rp 30.000,-
c) Hasil Ikutan dari Pemilahan/ Pengumpulan An-Organik ( plastik, logam, alumunium, botol ) ~ Pro Memory (PM)

Sub-Total Penjualan Rp 50.000,-

KESIMPULAN:

Instalasi Pengolahan Kompos Kota (IPSK) akan menghasilkan laba kotor Rp. 35.867,- / unit IPSK/hari.

Pabrik Pupuk Organik Granul

Pabrik Pupuk Organik Granul
Investasi UKM dalam pembuatan pupuk organik granul kini bergairah setelah pemerintah memberikan subsidi bagi pembuatan pupuk organik. Inilah kali pertama lingkup kerja Lingkungan Hidup bertemu dengan Pertanian dalam menggarap masalah saampah kota- sebagai bahan organik yang berpotensi sangat besar dijadikan bahan pupuk - untuk dikembalikan ke desa.

Pupuk Mahal, Petani Beralih ke Pupuk Kandang


Pupuk Mahal, Petani Beralih ke Pupuk Kandang


Ani Purwati

Harga pupuk kimia buatan pabrik yang mahal membuat petani beralih menggunakan pupuk kandang. Sudah tiga tahun Nani (47) memanfaatkan kotoran kambing sebagai pupuk tanaman padinya. Demikian ungkap Nani pada beritabumi.or.id, Kamis (16/7), di sela Pelatihan Penyilangan Benih yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API) di Indramayu, Jawa Barat, 11-17 Juli 2009.

Sebelumnya dengan lahan kurang lebih seluas 400 meter, Nani menghabiskan pupuk kimia buatan sebesar dua kuintal. Setelah menggunakan pupuk kandang, Nani mengaku lebih menghemat pupuk.

Dalam penggunaan pupuk kandang, Nani mempunyai cara khusus. Setelah semai lima hari, bibit padi dicelupkan ke dalam air yang mengandung endapan pupuk kandang lalu menanamnya ke lahan. Sebelumnya saat pengolahan lahan juga menggunakan lebih banyak pupuk kandang dan sedikit pupuk kimia buatan.

Meski belum menggunakan pupuk kandang sepenuhnya, Nani bersama suaminya bisa merasakan manfaat penggunaan pupuk kandang. Dalam melakukan pertanian padinya, saat ini Nani telah mengurangi pupuk kimia buatan dan meningkatkan pupuk kandang. Selain lebih menghemat biaya produksi dari pembelian pupuk kimia buatan, Nani juga bisa mendapatkan hasil produksi padi lebih tinggi dan lebih berkualitas (berasa lebih manis). Di lahannya yang masih berstatus reclaiming seluas kurang lebih 400 meter, Nani menghasilkan sekitar 3 kuintal gabah padi. Produksi padi itu sebagian dijual selain dikonsumsi sendiri.

Silangkan Benih Padi

Setelah mendapatkan pengetahuan tentang penyilangan benih padi yang diselenggarakan Aliansi Petani Indonesia (API) pada 11-17 Juli lalu, Nani pun berharap bisa lebih menghemat biaya produksi dari benih dan lepas dari ketergantungan pihak lain. Nani akan mempraktikkan penyilangan benih sendiri.

Yaitu jenis padi lokal Morneng yang tanamannya bersifat lebih kuat, tinggi dan lebih banyak bulir padinya disilangkan dengan jenis padi Ciherang yang lebih enak rasanya. Melalui penyilangan benih dua jenis padi itu, Nani berharap bisa menghasilkan benih padi yang berkualitas di lahannya.

”Kebetulan sebulan lagi, kedua jenis padi yang ditanamnya tersebut akan berbunga,” terang ibu satu orang anak ini dengan wajah ceria.

Selama ini, selain membeli benih hibrida jenis Ciherang, Nani juga melakukan tukar menukar benih lokal jenis Morneng dengan petani lainnya. Nani mengaku lebih memilih tukar menukar benih lokal daripada membeli benih di toko. Selain merupakan kebiasaan sejak nenek moyang, dengan tukar menukar benih lokal, Nani bersama petani lainnya masih tetap bisa bertani meski tidak mempunyai dana untuk membeli benih dan sarana produksi pertanian lain seperti pupuk.

Peningkatan Kemampuan Petani Perempuan

Bersama Jaenab, Nani mendapat kesempatan pelatihan mewakili kelompok petani Cianjur. Sebagai kaum perempuan yang selama ini turut berperan dalam pertanian di daerahnya, mereka juga berhak mengikuti pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuannya. Dan kaum laki-laki pun memberikan kesempatan itu kepada mereka. Dalam hal ini telah ada kesadaran antara laki-laki dan perempuan untuk maju bersama di bidang pertanian.

Nani bersama ibu-ibu lain sebagai peserta pelatihan penyilangan benih tersebut merasa senang mendapat kesempatan untuk maju. Tidak hanya dalam peningkatan pengetahuan dan pengalaman tentang penyilangan benih dan sebagainya terkait peningkatan produksi pertanian, mereka juga dapat meningkatkan kemampuan dan keberanian dalam berpendapat. Suatu kesempatan yang mungkin tidak didapatkan petani perempuan lainnya.

Berita Terkait:

http://www.beritabumi.or.id/?g=beritadtl&newsID=B0177&ikey=1


http://www.beritabumi.or.id/?g=liatinfo&infoID=ID0028&ikey=3

Dede Yusuf dan Usaha Mikro UPPKS

Usaha mikro dan informal sangat potensial untuk digerakan berperan sebagai katup pengaman saat banyaknya PHK di masa resesi dan krisis global saat ini. Jumlah usaha mikro pun sangat besar, sebagi misal - yang tergabung dalam Asosiasi Kelompok UPPKS (AKU) Jawa Barat saja mencapai 14.300 kelompok dengan masing-masing 20 Rumah tangga. Padahal di Jawa Barat banyak usaha mikro binaan SKPD lain belum tergabung dalam Asosiasi AKU ini. Namun disayangkan, jika orang mendengar upaya pengembangan usaha mikro, seringkali diasosiakan hanya dengan kebutuhan modal. Memang benar modal penting ,namun, ada yang sebenarnya lebih penting, yakni terjualnya produk pada harga pantas melalui upaya pemasaran. Jika produknya banyak dicari konsumen, mencari modal menjadi mudah.


Dalam kepentingan memasarkan produk usaha mnikro diatas diperlukan promosi, dan inilah kegiatan marketing yang paling memerlukan biaya- sehingga kenapa kendati hanya tiwul atau bumbu pecel, kalau digarap "branding' nya bias menjadi bisnis besar oleh Indofood. Dalam kaitan itu,.dalam suatu kesempatan tahun 2008 dengan Gusti Rr Pembayun- putri Sultan Hamengku Buwono X di Jogja- sebelum 'Jusuf Kalla' digunakan sebagai merk oleh pengrajin sepatu Cibaduyut, saya lontarkan ide agar Sultan menggunakan jargon Usaha Mikro dalam kampanye politiknya dengan kira2 ‘ belilah produk usaha mikro”. Namun ide ini belum sempat didiskusikan lebih lanjut.


Dalam kesempatan pembukaan Rakerda AKU, 15 April, beruntunglah saya bertemu Wakil Gubernur Jawa Barat, H Yusuf Macan Effendi atau lebih dikenal dengan nama Dede Yusuf. Popularitas beliau tentu semua tahu, maka kembali saya lontarkan agar produk usaha mikro Jawa Barat mendapat dukungan politik untuk makin dikenal dan dicitrakan baik. Alhamdulillah, demi pengembangan pencitraan produk usaha mikro, beliau bersedia menjadi endoser atau icon produk dengan gratis demi Asosiasi UPPKS Jawa Barat. Saya menyambut dengan sukacita, karena dari sekitar 635 artikel produk Usaha Mikro dibawah naungan AKU Jawa Barat, kini punya harapan memiliki pengungkit ( endoser) dari nama 'Dede Yusuf' bagi meningkatnya penjualan dan harga.


Dalam kesempatan melihat display, ada tas rajut seharga Rp 50 rb ,: ' ........ wah kalau harga sekarang Rp 50 ribu bisa jadi Rp 500.000 kalau di outlet bergengsi ....." ujarnya. Memang , setelah di endorse oleh iklan dan promosi apalagi jika di simpan di outlet bergengsi suatu komoditi akan berobah jadi produk dengan nilai lebih mahal. Tunggulah, sebentar lagi akan ada iklan produk-produk usaha mikro dengan nama besar 'Dede Yusuf' dalam produk usaha mikro tersebut. Terimakasih pak Wagub, tinggalah saya memutar otak lagi mencari biaya guna mengiklankannya di media masa cetak atau elektronik………………..hehehe, keinginan tak pernah berhenti++)

Komposter Elektrik Bio Phoskko Diluncurkan Di Batam

Ubah Mesin Cuci Seken Jadi Mesin Kompos- Komposter


BATAM (BP) - Mesin cuci rusak dan tak bisa dipakai lagi ternyata bisa disulap jadi mesin kompos (mesin untuk produksi pupuk organik). Limpah ruah barang seken dari Singapura di Batam, jadi inspirasi bagi Sonson Garsoni mengubah mesin cuci rusak jadi bermanfaat. Uniknya mesin kompos bikinannya punya nilai jual setara dengan mesin cuci baru. Sekitar Rp1,5 juta-an dan digaransi 1 tahun. Berikut kisahnya.

Ide membuat mesin kompos dari mesin cuci rusak itu muncul di benak Sonson Garsoni (47) sekitar enam bulan lalu. Saat itu kerja sama Batam-Bandung baru terjalin dan Sonson Garsoni yang tinggal di Bandung jadi sering bolak balik ke Batam.


”Sebagai orang luar Batam, pasti yang dicari, ada apa sih di Batam. Dari internet, saya tahu kalau di Batam banyak sekali spare part asal Singapura. Pas di Batam saya langsung tertarik pergi ke Tanjungsengkuang untuk lihat-lihat barang seken,” kata Sonson Garsoni kepada Batam Pos, Kamis (13/12).


Melihat banyak mesin cuci seken, makin mantaplah keinginannya membuat mesin kompos. Mengubah mesin cuci rusak jadi mesin kompos yang dinamai oleh Sonson Komposter Electric Phoskko. Komposter elektric tidaklah semudah yang dibayangkan. Secara teknik, kumparan dan kapasitor serta lainnya yang ada di mesin cuci di-upgrade sampai lima kali lipat. ”Sistem kerjanya sudah beda jauh dengan mesin cuci. Boleh dibilang bodinya saja yang full dipakai,” kata Sonson, jebolan Institut Pertanian Bogor.


Bila pada mesin cuci ada proses perendaman, pemutaran, pembilasan dan pengepresan serta pengeringan. Maka pada mesin kompos hanya pemutaran dan pengepresannya. ”Yang saya ciptakan adalah bagaimana kecepatan pemutaran diperlambat, tempo pemutarannya diperpendek, kapasitasnya besar dan bisa berputar tanpa air. Yang juga beda yaitu adanya sistem aerasi atau masuknya oksigen ke dalam mesin kompos secara maksimal,” tambah Sonson di kantornya, Green Land Blok I, Batam Centre.
Kata Sonson, sistem aerasi ini berperan penting dalam mengubah sampah organik menjadi kompos.

Sebab saat membuat kompos di mesin ini juga pakai aktivator (mikroba pengurai sampai dengan populasi satu miliar mikroba per gramnya, red) plus penggembur dari aneka serbuk mineral. ”Mesinnya sendiri hanya sebagai pencampur dan media penyimpan saja, yang mengubah sampah organik jadi kompos aktivator dan penggemburnya,” kata Sonson.


Untuk membuat kompos dengan komposter elektric cukup mudah, praktis dan cepat. Sampah dengan maksimal berat 10 kilogram dimasukkan, ditambah aktivator dua sendok teh plus penggembur. Putar selama 10 menit, sebanyak lima kali sehari. ”Dalam tempo lima hari sampah organik rumah tangga bisa jadi kompos,” katanya.


Jauh sebelum punya ide bikin mesin kompos elektrik di Batam, Sonson Garsoni memang konsen dengan persoalan sampah. Tepatnya tahun 2005, ada tragedi TPA Leuwi Gajah di Bandung yang longsor. (ann)

Disalin dari Batam Pos, 15 Desember 2007, Klik naskah asli disini

Usaha Baru Cleaning Service Satu RW dan Real Estate

Sampah di beberapa kota telah menimbulkan masalah karena volumenya makin meningkat namun, dilain pihak, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah makin sulit dekat kota dan pemukiman; karena memang pada dasarnya masyarakat tidak suka dekat dengan sampahnya orang lain. Makin jauh sampah diangkut, dari suatu kawasan ke lain tempat, makin banyak "musuh" nya kemudian menimbulkan penolakan ( resistensi) atas keberadaan sampah "orang lain" tersebut. Disinilah letak masalahnya mengapa kita perlu berfikir baru bahwa, pengelolaan sampah hendaknya dilakukan secara terdesentralisasi, pengolahan berada di mana sumber sampah berasal yakni pemukiman dan area publik.

Masalahnya para ekonom dan pebisnis seringkali hanya bersandar pada hukum skala ekonomi, bagi pencapaian kelayakan ekonomi dalam menilai suatu kelayakan ( feasibilitas) suatu proyek. Konon makin besar skalanya, makin efisien adalah kiatnya. Namun, benarkah selalu demikian ? Bukankah ada hukum ekonomi lain -yang mengoreksi dan memberi pertimbangan lain atas pendapat diatas dengan " The Law Of Deminishing Return", yakni, ada batas dimana suatu skala menjadikan efisien dan memperbesarnya, bahkan, makin menjadikannya makin tidak layak. Dan, ditambah dengan pertimbangan kelayakan lingkungan ( ekologi), membuat pertimbangan skala ekonomi suatu proyek pengelolaan sampah juga dapat dicapai dengan hanya bermodalkan skala UKMK dibawah Rp 100 juta. bandingkan dengan investasi TPST Bojong di Bogor serta "Waste to Energy" yang akan memakan investasi hingga ratusan milyar rupiah. Memahamkan itu, dengan ini dikenalkan Instalasi Pengolahan Kompos Kota IPKK)- yakni suatu skala bisnis mikro atau usaha kecil - yang sudah terbukti di Bandung memberikan kelayakan ekonomi =disamping memenuhi pertimbangan sosial- yakni memberikan lapangan usaha dan lapangan kerja- juga layak secara ekologi dan lingkungan.

Resisitensi akan keberadaan proyek Olah Sampah - yakni mengumpulkan menjadi satu pada wilayah terkonsentrasi sebagaimana di TPST Bojong di Bogor, Bekasi dan banyak kasus penolakan masyarakat sekitar akan keberadaan TPA Sampah daerah lain menjadi masalah. Namun, di dunia ini suatu " masalah" bisa jadi " peluang", atau "wei" dan "ji" kata pepatah Cina. Usaha Jasa Kebersihan ( Cleaning Service) suatu gedung atau kantor kini tengah dikembangkan di Bandung menjadi Usaha Jasa Kebersihan satu RW, beberapa RT atau satu komplek perumahan ( Real Estate). Jika terhadap sampahnya sendiri yang diolah, secara relatif resistensi (penolakan) masyarakat pelanggan jasa kebersihan IPKK terhadap unit usaha ini akan lebih rendah dibanding terhadap sampah suatu kota di suatu lokasi TPA Sampah. " Wong sampahnya dewe, masa kok ditolak? "

Dengan memanfaatkan motor roda tiga - yang khusus dirancang bagi angkutan sampah- menggantikan roda dorong oleh manusia- akan dengan cepat mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah suatu RW atau komplek perumahan sampai 300-500 rumah per hari. Bahkan kedepan, rumah-rumah akan disediakan Tempat Sampah Terpilah ( Trash Devider) - yakni 2 bagian tempat sampah bagi jenis organik ( degradable) dan an-organik ( Un-degradable). Jumlah sampah dari setiap rumah diketahui rata-rata 2,6 liter/ hari/ jiwa atau, setara dengan 5-6,5 m3/hari/500 rumah tangga 5 jiwa. Jumlah sampah diatas akan mengandung 50 % sampai 80 % sampah organik ( 2,5 sd 3 m3) atau setara dengan kapasitas olah 1 ton / hari.

Jika alat mesin per 500 rumah setara dengan keperluan 1 ( satu) unit Bio Reaktor, atau komposter kapasitas 2-3 m3 setara berat 1 ton maka, diperlukan 5 - 7 unit komposter Rotary Klin BioPhoskko - agar dengan itu tiap hari dapat mengolah sampah organik secara berkesinambungan. Jika harga komposter Type Rotary Klin adalah Rp 15.000.000,-/unit x 5 unit = Rp 75 juta ( berikut instalasinya secara lengkap sampai On the Road) dan, dengan ditambah Motor Roda 3 Rp 13.750.000,-/unit, maka total Investasi hanyalah adalah = Rp. 88.750.000,-( delapan pulul delapan juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Sampah yang dikumpulkan bukan untuk disimpan di Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Sampah sebelum berakhir di TPA-, sebagaimana berlangsung selama ini. Material sampah yang terkumpul, dengan memanfaatkan Paket Teknologi Bio Reaktor Rotary Klin - sebagai media penyimpan dalam proses dekomposisi sampah secara aerob, hingga sampah dapat di reduksi tinggal 50 % ( tergantung jenis komposisi sampah organik dan an-organik). Kapasitas Reaktor Rotary Klin BioPhosko ini 2 sampai 3 m3 atau setara berat 1 ton mampu mendekomposisi sampah hanya dalam 5 hari saja. Jadi, bagi kepentingan mengelola sampah 5 m3/ hari diperlukan 5 - 7 unit Bio Reaktor Rotary Klin tadi.


Tentu saja dari jasa kebersihan tersebut akan didapatkan setidaknya :

1. Retribusi iuran persampahan dari warga @ Rp 30.000 sd Rp 50.000,-/ rumah/bulan atau sekitar Rp 15.000.000,- sampai Rp. 25.000.000,- /bulan/ 500 rumah,

2. Amilioran- yakni sejenis kompos hasil pengayakan material halus dari material bongkahan- hasil dekomposisi sebanyak 50 % dari 1 ton setara 500 kg kompos senilai Rp 1000.000,-

3. Pupuk Organik Cair sebanyak 50 liter- yang berharga sampai Rp 10.000/ 1 ltr - yakni cairan lindi (leachete) yang tertampung dalam Bio Reaktor secara aerobik atau setara dengan Rp 500.000,-

4. Material an-organik bahan daur ulang seperti plastik, logam, potongan kayu yang dapat dijual pula,
Jadi setidaknya, didapatkan pendapatan Rp 30.000.000/ bulan dari penjualan kompos, pupuk cair dan ditambah Rp 30.000.000,- + Rp. 30.000.000,- (minimal) = Rp 60.000.000,-. Tanpa pakai analisa Finansial canggih juga sudah bisa disimpulkan kalau Modal Rp. 88.750.000 dengan masa penggunaan alat minimal 3 tahun, maka usaha ini jelas menguntungkan.

Bagi peminat bisnis baru Cleaning Service IPKK ini, jika ingin mendapat info spesifikasi alat BRM atau komposter lebih lanjut, silahkan klik kunjungi kami di
KencanaOnline.Com . Peluang ini tengah dan sudah dikembangkan di Bandung dan sekitarnya sejak 3 ( tiga) tahun lalu - sebagaimana dapat diikuti pengalamannya Ibu Tuti di Soreang Kabupaten Bandung, Bartholomez Diaz di Ambon dan PT Sangyoe di Banten serta KmsB di Selangor di Malaysia +++++++++++++++++++++++++++++)

Teknologi Phoskko Dalam Produksi Kompos: Suatu Anomali Bisnis


BioPhosko® Composter [Rotary Klin RKM-1000L]


Komposter Biophosko® (Tipe RKM-1000L Rotary Kiln) berdimensi ( Tinggi= 190 cm, Diameter= 155 cm dan Panjang= 290 cm) terbuat dari bahan fiber resin dan peralatan aerasi lainnya. Alat Mesin Rotary Kiln komposter sampah ini akan merupakan solusi tepat untuk penanganan sampah suatu komunitas -yang sebagian besar menghasilkan sampah organik
Lazimnya dalam bisnis, ketika pengusaha membeli bahan baku harus membayar dong. Tapi, teknologi Bio Phoskko dalam pembuatan kompos telah membuat anomali. Paket teknologi Bio Phoskko- yang terdiri dari aktivator, komposter dan aneka mineral telah merobah pengolahan sampah kota tidak lagi dipersepsi dengan bau, kuno maupun tidak praktis dan kumuh. Teknologi ini telah menjadikan pengolahan sampah di dekat sumber penghasil -misalnya pemukiman dan pasar - sebagai suatu usaha yang menguntungkan, higienis, modern dan cepat.Selanjutnya Anomalinya, ketika pengusaha mengambil atau menerima sampah organik - sebagai bahan baku dalam usaha kompos di suatu wilayah pemukiman maupun area publik, bukannya harus membayar, melainkan bahkan, mendapat retribusi kebersihan. Kedepan, dan kini banyak perusahaan sudah menikmatinya, dalam skala pengolahan sampah dilakukan oleh industri, perkebunan, atau perusahaan -yang mengolah bahan tambang dan sumberdaya alam atau bisnis dengan areal luas lainnya, malahan akan berpeluang mendapatkan dana CDM (Clean Development Mechanism) yakni sejumlah dana kompensasi atas usaha pengurangan emisi methan dan karbon- sebagaimana konvensi dalam "Protokol Kyoto". Lho ?

Pupuk Organik Makin Berkembang


Gairah pengusaha ( UKM Jawa Barat) menggarap peluang investasi pada pengolahan sampah meningkat sejalan adanya insentif pemerintah berupa subsidi lebih dari Rp. 450 milyar kepada produsen pupuk organik granul ( setara bagi 450.000 ton). Hal ini terlihat dari banyak dan antusiasnya peserta pertemuan bisnis Organik - yang diorganisir Asosiasi Pupuk ( APPKMI) dan Kadin Jawa Barat di Bandung, 9 Februari 2009 lalu.

Pertemuan para pengusaha, SKPD pemerintahan terkait lingkungan hidup dan persampahan kota ini dihadiri antara lain PPD Pusri Jawa Barat, Pertani ( Perse
ro) Jawa Barat, Wkl Bupati Sumedang, Ka Dinas Pertanian jawa Barat, Para ketua Kadin se Jawa Barat dan banyak pengusaha pupuk anggota APPKMI serta undangan lainnya. Forum membahas peluang bisnis Organik Granul di Bandung ini berlangsung di Kadin Lounge. Dan, dalam 2 jam pertemuan, lahirlah komitmen investasi 7 UKM baru serta 12 perusahaan - yang sudah existing pada granulasi pupuk ( phosphates, zeolit) - untuk segera beroperasi memproduksi organik kompos granul di Jawa Barat.

Tentu saja ini akan membuka horison baru bahwa sampah kota- yang selama ini dianggap masalah lingkungan dan kebersihan kota- justru akan sangat diperlukan bagi bahan baku pembuatan kompos. Dan, kini makin terbuka jika pengadaan pupuk kimia - Urea, Phosphates (SP) serta KCL yang makin terancam kecukupannya- serta dilain pihak gaya hidup serta tuntutan kesehatan pada naiknya produk organik- pupuk alami ini akan dibutuhkan dalam jumlah besar.
Inilah kali pertama lingkup kerja Lingkungan Hidup (KLH) bertemu dengan Pertanian ( Departemen Pertanian) dalam menggarap masalah sampah kota- yang selama ini dianggap banyak pihak, diantara kedua sektor ini - memiliki ego sektoral.

Sampah kota- sebagai material sisa berasal dari bahan makanan sayuran, buahan, daging dan bahan pangan lainnya dari desa - terlanjur dibawa ke kota tanpa menyisakan bagian sampah di kebun. Bahan organik ini berpotensi sangat besar dijadikan bahan pupuk - dan dikembalikan ke desa.
Pupuhan tahun tanah pertanian Indonesia diasupi bahan kimia, sementara semua bagian tanaman diangkut kota- telah memiskinkan tanah pertanian atau berkurangnya kandungan C-Organik dengan cepat.

Ditempat lain, karena subsidi pemerintah ini dilakukan melalui mekanisme negara kepada BUMN, keterlibatan PT Pusri, PT Petro Gresik, PT Sang Hyang Seri dan PT Pupuk Kaltim sangat besar memberi pemodelan, bimbingan dan sarana pemasaran dalam bentuk kemitraan. Menurut Dirut PT Pusri, Dadang Heru Kodri, ketergantungan petani terhadap pupuk non organik hingga saat ini masih cukup tinggi padahal harganya jauh lebih mahal jika dibanding dengan pupuk organik. Karena itulah pihaknya merasa perlu mengenalkan pupuk organik secara menyeluruh kepada petani.

"Program kemitraan ini perlu kami kembangkan untuk membantu menumbuhkan sektor riil. Dengan demikian produksi kebutuhan pupuk organik yang dipatok mencapai 450.000 ton pada 2009 ini dapat tercapai," ujar Dadang Heru Kodri dalam peresmian pabrik pupuk organik di Grompol, Sragen, Jumat (16/1/2009).

Selasa, 18 Agustus 2009

Sampah Kota, Masalah dan Peluang


Sampah Kota, Masalah dan Peluang
by:Asrulhoesein


Permasalahan sampah kota tidak hanya teknis, tetapi juga social, ekonomi dan budaya. Masalah utama sampah kota umumnya terjadi di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) terutama di beberapa kota besar di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Medan, Semarang, Bandung dan Makassar serta hamper menjadi masalah di beberapa Kab/Kota lainnya di Indonesia. Masalah tersebut diantaranya keterbatasan lahan TPA, produksi sampah yang terus meningkat, teknologi proses yang tidak efisien dan tidak ramah lingkungan, serta belum dapat dipasarkannya produk hasil sampingan sampah kota. Padahal, produk hasil sampingan sampah sebenarnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat dan pemerintah, misalnya pupuk organic, biogas, dan tenaga listrik.

Pupuk organic bisa menggantikan pupuk kimia (pupuk anorganik) yang harganya tinggi serta langka dan selalu meningkat seiring dengan meningkatnya harga BBM. Demikian pula biogas atau tenaga listrik sampah adalah bahan energi alternative (biofuel) yang dapat diperbaharui (renewable) sebagai pengganti bahan baker BBM yang semakin langka dan mahal. Oleh karena itu, para pengambil kebijakan pengelola sampah kota dituntut untuk menemukan pengelolaan lingkungan yang berbasis system produksi. Artinya, sampah dilihat sebagai bahan baku untuk diproses menjadi produk komersial yang dapat dijual serta bersih lingkungan.

Permasalahan yang muncul di TPA, akan merambat kea rah hulu yang mengakibatkan terhenti atau terhambatnya pengangkutan sampah dari sumber sampah ke TPA. Dampaknya, sampah akan menggunung di kota disertai akumulasi polusi yang ditimbulkannya.

Untuk mengatasi masalah sampah, dibutuhkan system pengelolaan yang baik. Pengelolaan sampah kota bertujuan agar tercipta kebersihan lingkungan. Dengan armada angkutan sampah yang besar, jumlah personil yang memadai, keteraturan jadwal, serta ketepatan lokasi obyek sampah maka masalah kebersihan lingkungan di sumber sampah dapat diatasi dengan baik. Beberapa alternative cara mengatasi masalah sampah kota dengan menerapkan teknologi terapan, baik yang sudah dikenal atau belum dikenal di Indonesia. Misalnya, penggunaan teknologi terapan di TPS (Tempat Penampungan Sementara) dan kombinasi teknologi di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) sehingga dihasilkan produk yang habis terjual atau termanfaatkan kembali. Setidaknya masalah sampah tersebut juga merupakan sebuah peluang usaha, setidaknya yang paling sederhana adalah mengolahnya menjadi pupuk organik.

Beberapa tahun belakang ini, bahan pangan, terutama sayuran yang dibudidayakan secara organik mulai digandrungi masyarakat. Mereka mulai menyadari kalau bahan makanan yang dibudidayakan secara organic itu lebih sehat danlebih aman. Dikatakan lebih aman karena pada bahan makanan tersebut tidak tertinggal sisa pestisida yang mengandung bahan kimia berbahaya bagi tubuh manusia.

Bertani secara organic berarti semua pupuk dan pestisida yang digunakan terbuat dari bahan-bahan organic, seperti kompos dan pestisida nabati. Kompos menjadi pupuk utama sehingga untuk mengembangkan pertanian organic dibutuhkan dalam jumlah banyak. Nah bahan baku utama pembuatan kompos ini adalah sampah organik yaitu sampah perumahan, sampah pasar, serbuk gergaji, kotoran hewan, abu hasil pembakaran sekam padi, dan masih banyak lagi yang semuanya terbuang atau terabaikan selama ini, yang lucunya malah menjadi masalah selama ini. Kita kelola dengan cerdas sampah ini, sehingga bisa berhasil guna dan bermanfaat serta mengurangi pencemaran lingkungan. Karena pencemaran lingkungan berhubungan erat dengan sampah. Mari kita mengambil hikmah dalam masalah sampah ini dengan menjadikannya sebagai peluang usaha serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

(rul_12vii09.pupukorganikindonesia_lingkungan)

Artikel Pupuk Organik Indonesia Headline Animator

Recent Coment


Artikel Bermanfaat Dari OrganicJournalOnline Headline Animator

Videos related to 'Peluang Usaha Kompos Dengan Rotary KILN Manual Part 02'